[Nama Anda] [Alamat Anda] [Kota, Kode Pos] [Tanggal] Kepala Kepolisian Resort [Nama Kapolres] [Nama Kepolisian Resort] [Alamat Kepolisian Resort] [Kota, Kode Pos] Dengan hormat, Perihal: Permohonan Perlindungan Hukum Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama: [Nama Lengkap Anda] Alamat: [Alamat Lengkap Anda] Nomor Telepon: [Nomor Telepon Anda] Nomor Identitas: [Nomor Identitas Anda, seperti KTP/SIM/Paspor] Dalam hal ini, dengan penuh rasa hormat, saya ingin menyampaikan permohonan perlindungan hukum kepada Kapolres [Nama Kapolres] terkait dengan peristiwa yang telah terjadi kepada saya. Pada [tanggal], saya mengalami kejadian yang sangat mengganggu dan melanggar hak-hak saya di [jelaskan dengan singkat peristiwa yang terjadi]. Kejadian ini telah menimbulkan kerugian materiil dan immateriil yang signifikan bagi saya. Sebagai warga negara yang taat hukum, saya sangat menghargai peran dan tanggung jawab Kepolisian dalam menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak masyarakat. Oleh karena ...
GUGATAN BANTAHAN
Atas Putusan Perkara Nomor 116/Pid.B/2005/PN.Sgt
Antara :
PT. BUDI SAMPURA MALAPETAKA ………………..……………………….…........……PEMBANTAH
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA
CQ. KEJAKSAAN TINGGI JAMBI
CQ. KEJAKSAAN NEGERI SENGETI
CQ. JAKSA PENUNTUT UMUM ………………….…………..……………………. TERBANTAH
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Kepada Yang Terhormat :
Ketua Pengadilan Negeri Sengeti
di-
Sengeti Muaro Jambi
Dengan Hormat,
BEJO, SH, National Litigation Head pada PT. BUDI SAMPURA MALAPETAKA, dalam hal ini bertindak selaku Kuasa dari Hendra Sugiharto, Wakil Presiden Direktur PT. BUDI SAMPURA MALAPETAKA, sesuai Surat Kuasa Nomo No.16/SK-PN/NL-Ex/VI/2005 tanggal 23 Juni 2005 (terlampir); dari dan oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum perseroan, untuk selanjutnya disebut : PEMBANTAH
Dengan ini mengajukan bantahan terhadap:
Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kejasaan Agung Republik Indonesia, Cq. Kejaksaan Tinggi Jambi Cq. Kejaksaan Negeri Sengeti Cq. Jaksa/Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksan Negeri Sengeti Jambi yang mewakili kepentingan negara dalam perkara idana No.116/Ps.B/205 Pn.SGT, selanjutnya disebut: TERBANTAH.
dengan dasar-dasar dan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa, Pembantah adalah pemilik sah satu unit mobil Toyota Dna Light Truck; warna Merah; Nomor Polisi BG 4355 MK. (P-01: BPKB)
bahwa, dasar kepemilikan PEmbantah atas mobl a quo adalah Perjanjian Pembiayaan dengan Jmainan Fdusia No. 02.500.503.00.05117.5 antara Pemantah dengan Ujang Effendi Ahmad sebagai pelanggan Pembantah.
Dalam butir 4 Perjanjian a quo telah ditetapkan bawa Ujang Effendi Ahmad menyerahkan hak miliknya atas mobil a quo kepada Pembantah guna menjamin pembayaran seluru kewajibannya kepada Pembantah lengkanya butir 4 Perjanjan a quo berbunyi:
“4. untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban DEBITOR kepada KREDITOR, baik yang imbul dari PERJANJIAN ini dan/atau prjnajian lainna yang terkait dengan pembiayaan ini yang dibuat ole DEBITOR dan KREDITOR , maka DEBITOR dengan ini menyerahkan KREDITOR menerima pula BARANG tersebut sebagai jaminan…”
Selanjutnya dengan SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA butir 10 ditentukan pula:
“Untuk menjamin seluruh pembayaran yang merupakan kewajiban DEBITOR kepada KREDITOR, baik yang timbul dai perjanjian ini dan/atau perjanjian terkait lainnya yang dibuat antara DEBITOR dan KRDITOR , maka DEBITOR menjamin BARANG secara fidusia kepada KREDITOR , sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain:
DEBITOR tetap menguasai BARANG secara fisik sebagai peminjam atau pemekai sapai dengan DEBITOR memenuhi semua kewajibannya kepada KREDITOR sesuai dengan PERJANJIAN ini”
yang dimaksud terminology BARANG dalam perjanjian a quo adalah satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK.
(P-02: PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA No.02.500.503.00.045117.5 antara Pembantah dengan Ujang Effendi ahmad berikut SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA butir 10a)
Dengan demikian, telah terbukti bahwa satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warana mera; Nomor Polisi BG 4355 MK adalah benar hak milik Pembantah. sehingganya PEmbantah adalah Pembantah yang benar dan beritikad baik.
Bahwa, secara yuridis jaminan fidusia diatur secara tersendiri dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999 yang merupakan hukum positif di Indonesia yang dalam pasal 1 Undang-undang No. 42 Thun 1999 tentang Ketentuan Umum:
“1. Jaminan adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda
Jaminan fidusaia adalah hak jaminana atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda begerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tangungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Peerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Piutang adalah hak untuk menerima pembiayaan.
Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, bak yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hak hipotek.
Pemberi Fidusia adalah orang perserangan atau korporasi pemili Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembiayaannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Uang adalah kewajiban yang dinyatakan ataua dapat dinytakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontijen.
Kreditor adalahpihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau karena undang-undang.
Setiap orang adalah perorangan atau korporasi.”
(P-03: Undang-Undang No.42 Tahun 1999)
Sesuai denga Undang-undang No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia pasal 1 tentang Ketentuan Umum ayat (1) a quo; yang juga sesuai isi/keentuan PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA ang dibuat antara Pembantah dengan Ujang Effendi Ahmad sehingga berlaku dan mengikat sebagai hukum bagi Pembantah dan Ujang Effendi Ahmad; lalu sesuai pula dengan ketentuan/isi SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN JAMINAN FIDUSIA butir 10 a quo; maka sebagai penerima jaminan fidusia, menurut hukum Pembantah adalah pemilik atas satu unit Toyota Dyna Light Truck; warna Meraah; Nomor Polisi BG 4355 MK a quo yang dijaminkanole Ujang Effendi Ahmad kepada Pembantah sampai seluruh utang Ujang Effendi Ahmad kepada Pebantah lunas untuk seluruhnya.
Bahwa, dalam kenyataannya, Ujang Effendi Ahmad telah menunggak pembayaran kewajiban kepada Pembantah.
(P-04: Rincian kewajiban Ujang Effendi Ahmad)
Bahwa, hukum positif Indonesia memberi perlindungan terhadap kepemilikan Pembantah atas satu unit Toyota Dyna Light Truck; warna Meraah; Nomor Polisi BG 4355 MK a quo.
Perangkat hukum yang memberi perlindungan kepada Pembantah sebagai pemilik atas satu unit Toyota Dyna Light Truck; warna Meraah; Nomor Polisi BG 4355 MK a quo ptama bersumber dari UUD 1945 yang meliputi:
UUD 1945 pasal 28G ayat (1) yang menentukan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
UUD 1945 Pasal 28H ayat (4) yang menentukan: “Setiap orang berhak mempunyai haka milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Selanjutnya secara lebih rinci perlindungan atas hak milik Pembantah dalam hukum Indonsia dan dunia dapat diuraikan sebagai berikut :
Untuk melukiskan esensi hak milik, Black’s Law Dictionary memberi pengertian hak milik sebagai berikut:
“That is peculiar or proper to any person; that belongs exclusively to one. In the strict legal sens, an aggregate of rights which are guaranteed and protected by the government”
“Kata person tersebut, kendati secara umum diartikan sebagai seseorang (human being), tetapi dapat pula suatu organisasi atau kumpulan orang (labor organizations, partnerships, associations, legal representatives, trustees, trustees in bankruptcy, or receivers).”
“Mengingat hak milik bukan hanya menyangkut orang ,…, bahwa hak milik adalah hubungan antara subyek dan benda, yang meberikan kepada subyek untuk mendayagunakan dan/atau mempertahankan benda tersebut dari tuntutan pihak lain.”
Selanjutnya, menurut Darji Darmodiharjo dan Sidharta (2004: 183-184), pengertian hak milik berangkat dari pengertian istilah hak yang terkait dengan keadilan dan hak asasi manusia. Dengan megutip Rasjidi, menurut Darji Darmodiharjo dan Sidharta hak milik adalah hubungan seseorang dengan suatu benda yang membentuk hak pemilikan terhadap benda tersebut. Hak ini merupakan hak-hak in rem yang merupakan kepentingan yang dilindungi terhadap dunia pada umumnya, sehingganya meletakan kewajiban kepada setiap orang termasuk negara untuk menghormati eksistensinya.
Penjelasan Darji Darmodiharjo dan Sidharta diatas, didukung oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya (004: 131-132) yang menjelaskan:
“Dengan dikuasainya suatu benda berdasarkan hak milik, maka seseorang pemegang hak milik diberikan kwenangan untuk menguasainya secara tenteram dan mempertahankannya terhadap siapapun yang bermaksud untuk menggangu ketenteramannya dalam menguasai, memanfaatkan serta mempergunakan benda tersebut”
Dalam tataran normative, hukum Idonesia mengatur hak milik dalam KUHPerdata (yang merupakan terjemahan atas Burgerlijke Wetboek Belanda) Buku II tentang Kebendaan pasal 570 yang berbunyi:
“Hak milik adalah ak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kkuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas undang-undang dan dengan pebayaran ganti rugi.”
Selanjutnya, KUHPerdata Pasal 574 berbunyi:
“Tiap-tiap pemilik suatu kebendaan, berhak menuntut kepada siapapun juga yang menguasainya, akan mengembalikan kebendan itu dalam keadaan beradanya”
Dengan mengacu keapda ketentuan KUHPerdata a quo, Ny. Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan menjelaskan bahwa hak milik sebagai bagian hak kebendaan memiliki dua karakter (sifat dasar):
Merupakan hak mutlak, yaitu hak yang dapat dipertahankan kepada siapapun juga.
Bersifat zaaksgevolg atau droit de suit yang mengikuti benda dimanapun dan dalam tangan siapapun juga barang itu berada (Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, 1981: 25).
Selanjutnya, Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan menjelaskan hak milik adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya. Karena yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuh dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya. Hak milik meupakan “droit inviolable et sacre”, yaitu hak yag tidak dapat diganggu gugat.
KUHPerdata sebagai kitab hukum yang terkodifikasi sampai saat ini merupakan hukum positif di Indonesia, kendati kedudukannya telah berubah dari wetboek menjadi Handboek berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.03 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Namun, dalam praktek di Mahkamah Agung dan MAhkamah Konstitusi, KUHPerdata tetap menjadi acuan dalam memutus perkara.
Dalam perkembangannya, konsep hak milik dalam KUHPerdata buku II a quo kemudian diadopsi UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang sampai sekrang merupakan hukum positif di Indonesia. Dengan demikian, norma hak milik menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Menurut Soetandyo Wignjosubroto (1995: 38-46) KUHPerdata Indonesia berasal dari Code Civil Napoleon yang berlaku di Belanda tahun 1810. Slanjutnya Belanda menyusun Burgerlijke Wetboek (KUHPerdata) sendiri yang mengadopsi konsep-konsep hak yang terkandung dalam Code Napoleon yang mulai berlau di Belanda mulai 1838. Selanjutnya, berdasarkan asas Konkordantie (Concordantie Beginsel) Burgerlijke Wetboek diberlakukan di Indoensia pada 30 April 1847 dengan cara diundangkan dalam Staatblaad (Stb) 1847 No. 23.
Secara historis, konsep hak milik yang ada dalam Burgerlijke Wetboek yang merupakan Copy Paste dari konsep hak milik yang ada dalam Code Civil Napoleon. Dalam sejarah tata hukum dunia, konsep-konsep yang ada dalam Code Civil Napoleon sangat mempengaruhi pemikiran dan konsep hukum dunia, temasuk Indonesia.
Selain dalam hukum perdata, perlindungan terhadap hak milik juga diatur dalam hukum Indonesia. Kenyataan itu akan diuraikan dibawah ini.
Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa konsep hak milik yang diberlakukan di Indonesia berakar dari konsep hak milik yang dirumuskan dalam Code Civil Napoleon. Codes Napoleon sebagai bentuk kitab undang-undang yang sudah terkodifikasi sebetulnya terdiri atas tiga buku, yaitu Code Civil, Code Commerce dan Code Penal sebagai ketentuan sebagai ketentuan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi.
Code Penal berlaku di Belanda pada tahun 1810, selanjutnya, Belanda menyusun ketentuan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi sendiri yang dinamakan Wetboek van Strafrecht (WvS), yang isinya juga mengadopsi konsep-konsep hak yang terkandung dalam Codes Napoleon yang mulai berlaku di Belanda tahun 1838.
Menurut Jan Remmelink hukum pidana kerap menginkorporasikan norma-norma dan bidang hukum lain. Galibnya, pengertian-pengertian dalam hukum keperdataan akan diambil alih apa adanya tanpa perubahan, (Jan Remmelink, 2003:10). Maknanya, hukum pidana mengakui dan melindungi hak milik, sebagaiman hukum perdata melindungi hak milik yang telah diuraikan dimuka.
Sebagai materialisasi perlindungan hukum pidana terhadapa hak milik, WvS memasukan masalah Vermogendelicten (Kejahatan atau Pelanggaran mengenai Kekayaan Orang) sebagai perbuatan dilarang menurut Wetoek van Strafrecht.
berdasarkan asa Konkordantie (ConcordantieBeginsel) Wetboek van Starfrecht Belanda diberlakukan Hindia Belanda dan menjadi Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie. Setelah di Indoensia merdeka Wetboek van Strafrecht vor Nederlandsch Indie menjadi ketentuan hukum pidana Indonesia vide UU No.1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 146; dan namanya berubah menjadi “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” (KUHP), samapi sekarang KUHP merupakan norma hukum pidana positif di Indonesia.
Sebagaimana ketentuan dalam Code Penal Napoleon, yang kemudian diresepsi kedalam Wetboek van Strafrecht Belada, lalu irsepsi ke dalam KUHP; maka hukum pdana positif Indonesia yang terkodifikasi dalam KUHP juga memberikan perlindungan terhadap hata kekayaan yang merupakan hak milik pribadi atau badan hukum. ha ini dapat dilihata dalam ketentuan KUHP buku II tentang Kejahatan atau Pelanggaran mengenai KEkayaan Orang (Vermogendelicten).
Sedangkan dalam tatarn norma hukum universal, eksistensi hak milik telah diakui secara tegas sehingganya menjadi ketentuan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Duham) anggal 10 Desember 1948 pasal 17 yang berbunyi:
“Pasal 17 Deklaasi Uniersal:
Setiap orang gberhak mempunyai hak milik baik sendiri maupun bersama-sama.
Tidak seorangpunboleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena.”
(P-06: IntumenInternational okok Hak Asasi Manusia, Peter Baehr et al:284)
Ipso Jure, haruslah dipahami bahwa tata hukum Indonesia dan tata hukum dunia elah member pengakuan sekeligus perlindungan pasti terhadap hak milik. Secara nasional, norma pengakuan dan perlindungan atas hak milik telah masuk sehingganya menjadi norma UUD 1945 pasal 28G ayat (1) yang berbunyai:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dan pasal 28H ayat (4) yang berbunyi:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun.”
Dengan demikian, tidak ada alsan hukum yang membenarkan rekuisitur Terbantah dalam perkara pidana No.116Pid.B/2005/PN.SGT yang secara sewenang-wenang menuntut agar satu unit Toyota Dyna Light Truck; arna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK hak milik Pembantah dirampas untuk Negara.
11. Ipso Jure, rekuisitur Terbantah dalam perkara pidana No.116Pid.B/2005/PN.SGT yang menuntut agar satu unit Toyota Dyna Light Truck; arna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK hak milik Pembantah dirampas untuk Negara haruslah ditolak untuk seluruhnya.
Bertolak dari argumentasi yuridis dimuka, maka tentunya tidak ada argumentasi hkum yang waras yang membenarkan rekuisitur Terbantah dalam perkara pidana No.116Pid.B/2005/PN.SGT yang menuntut agar satu unit Toyota Dyna Light Truck; arna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK hak milik Pembantah dirampas untuk Negara.
Apalagi bila dikatkan dengan fakta (feit) baahwa, Pembantah sama sekali tidak mengetahui terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Imron bin Zainuri sebagaimana isi dakwaan Terbantah dalam perkara pidana No.116Pid.B/2005/PN.SGT
Selain tidak mengetahui tindak pidana a quo, dalam proses penydikan dan persidangan perkara pidana No.116Pid.B/2005/PN.SGT a quo, Terbantah sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Pembanta untuk mempertahankan hak miliknya atas satu unit Toyota Dyna Light Truck; arna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK a quo. Hal ini merupakan penyimpangan dari prinsip Negara hukum Indonesia yang menuntut agar tindakan hukum pemerintahan didasarkan pada Undang-undang (wetmatigheids ven bestuur) dan due prcess of law.
Dengan demikian, secara yuridis tidak ada dasar hukum yang membenarkan rekuisitur Terbantah yang menuntut agar satu unit Toyota Dyna Light Truck; warna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK hak milik Pembantah dirampas untuk Negara.
Oleh karena itu, rekuistur Tebantah a quo arslah ditolak seluruhnya atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ovankelijke verkaard).
Sebab, rekuisitur a quo telah melanggar prinsip-prinsi pemidanaan menurut KUHPidana, dengan elaborasi sebagai berikut:
Dengan mengutip Soedarto, Hamah atrik menguraikan asas pertanggung jawaban pidan sebagai syarat untuk pengenaan pidana adalah adanya kemampuan bertanggung jawab, adaanya kesalahan (schuld), dan adanya unsur melawan hukum (wederechttelijk). Dengan demikian, ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar si pelaku dapat dijatuhkan pidana, yaitu:
Adanya suatu tindak idana yang dilakukan oleh sipembuat.
Adanya unsur keslahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab; dan
Tidk adanya alasan pemaaf (amzah Hatik, 196:12).
Pendapat Hamzah Hatrik diatas didukung oleh M. Sholehuddin, yang mengatakan: “Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilita, ‘tiada pidana tanpa kesalahan’: Geen Straf Zonder Schuld)” (M. Sholehuddin, 2003:27).
Selanjutnya Jan Remmelink menguraikan bahwa syarat untuk menghukum seseorang sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan adalah: “Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada para pelakunya.”
Dari sini mucul syarat umum untuk menjatuhkan pidana: “Perbuatan bersifat MAlawan hukum (Wederechttelijkheid), adanya kesalahan (schuld), dana adanya kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvatbaarheid).” (Jan Remmelink, 2003: 85-86).
Secara factual, Terbantah sama sekali tidak dapat memuktikan bahwa Pembantah teah memenuhi syarat-syarat pemidanaan a quo sehingganyaharus dijatuhi pidana berupa perampasan atas satu unit mobill Toyota Dyna Light Truck; arna Merah; Nomor Polis BG 4355 MK.
Selanjutnya tentang syarat untuk melakukan atas harta hak milik pribadi warga Negara, KUHP mengaturnya dalam Buku I tentang Ketentuan Umum yang meliputi beberapa pasala yang memuata beberapa norma yait:
Perampasan atas hak milik pribadi harus memenuhi ketentuan pasal 1 ayat (1) tentang asas legalitas.
Secara historis lainnya asas legalitas dalam KUHP pasal1 ayat (1) a quo merupakan upaya manusia beradab untuk mendapatkan norma kepastian hukum yang dimulai pada abad ke XVIII. Norma kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya keewenang-wenangan penguasa yang dapat merugikan penduduk/warganegara.
Secara yuridis, norma kepastian hukum a quo telah memperoleh pengakuan sejak dicantumkan sebagai ketentuan pasal 8 “Declaation des doit de l’homme et du citoyen” tahun 1789; yang lengkapnya berbunyi: “Nul ne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etalie et promuge anteurement au de litet legalemen appliqué” yang artinya: “Tidak seorangpun dapat dihukum kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatannya itu sendiri.”
Menurut OC. Kaligis et al dicantmkannya norma kepastian hukum dalam Declaration des droit berkat prakarsa Lafayette yang telah mendapatkan ilam dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dlam bagian kedelapan sampai kesepuluh “Bill of Rights” dari Virginia tahun 1776. Dalam Bill of Rights dinyatakan bahwa “tidak seorang pun akan dapat dituntut atau akan dapat ditahan kecuali dalam peristiwa-peristiwa atau sesuai dengan cara-cara yang diatur dengan undang-undang.”
Norma yang menjamin warganegara tidak boleh dituntut secara sewenang-wenang oleh penguasa (pemerintah) seebenarnya berasal dari “Habeas Corpus Act” tahun 1679 yang sebenarnya ersumber dari ketentuan Magna Charta tahun 1215 passal 39.
Nora ini kemudian masuk menjadi norma Code Penal pasal 4 tahun 1881 yang kemudian secara copy paste masuk menjadi ketentuan KUHP pasal 1 ayat (1).
Dari uraian di depan, sesungguhnya telah tergambar jelas bahwa norma kepasian hukum sebagai materialisasi asas legalitas memang sangat fundamental sebagai pilar hukum pidana. Untuk itu, Indonesia memasukan asas ini menjadi ketentuan UD 1945 pasal 28D ayat (1).
dari uaraian diatas, dapat dirumuskan bahwa syarat pertama perampasan atas hak milik warga Negara hanya boleh dilakukan atas ketentuan undang-undang yang bersifat pasti.
Perampasan atas hak mili pribadi harus memenui ketentuan KUHP pasal 10 butir (b): Perampasan atas hak milik pribadi meupakan pidana tambahan dari pidana pokok.
KUHP Pasal 10 tentang Hukuman-Hukuman menetapkan ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan dalam system pemidanaan di Indonesia, yait: Pidana Pokok dan Pidan Tambahan.
KUHP pasal 10: Hukuman-Hukuman ialah:
Hukuman-hukuman pokok:
Hukuman mati
Hukuman penjara
Hukuman kurungan
Hukman denda
Hukuman tambahan
Pencabutan beberpa hak tertentu;
Perampasan barang yang tertentu;
Pengumuman keputusan hakim (R. Soesilo, 1986:34)
Terhadap adanya kategorisasi hukuman pokok dan hukuman tambahan a quo, R Soesilo menjelaskan:
“Undang-undang membedakan dua macam Hukman: Hukuman pokok dan Hukuman tambahan. Bagi satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, cumulatie lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. ….Hukuman tambahan gunanya menambah hukuman pokok, jadi tidak ungkin dijatuhkan sendirian.” (R.Soesilo, 1986:36).
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan syarat kedua untuk melakukan perampasan terhadap harta milik pribadi warga Negara adalah:
Pemiliknya adalah pelaku tndak pidana yang telah dijatuhi Hukuman pokok.
Perampasan atas harta milik semata-mata erupakan tambahan atas hukuman pokok yang telah dijatuhkan terhadap pemilik harta yang telah terbukti melakukan tindak pidana.
Selanjutnya, KUHP pasal 39 ayat (1) secara tegas menetapkan:
“(1). Barang kepunyaan si terhukum, yang diperoeh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahtan, dapat dirampas.”
Terhadap adanya kategorisasi ukuman pokok dan hukuman tambahana quo, R. Soesilo menjelaskan:
“Undang-undang membedakan duaq macam hukuman: hukuman pokok dan hukuman tambahan. Bagi satu kejahatan atau pekalanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok, cumulatie lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. ... Hukuman tambahan gunanya menambah hukuman poko, jadi tidak mungkin dijatuhkan sendirian.”
(R, soesilo, 1986:36).
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan syarat kedua untuk melakukan perampasan terhadap harta hak milik pribadi warga negara adalah:
Pelakunya adalah pelaku tindakpidana yang telah dijatuhi hukuman pokok.
perampasan terhadap harta hak milik semata-mata merupakan tambahan atas hukum pokok yang telah dijatuhkan terhadap pemilik harta yang telah terbukti melkukan tindak pidana.
Selanjutnya, KUHP pasal 39 ayat (1) secara tegas menetapkan:
“(1). Barang kepunyaan si terhukum, yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai akan melakukan kejahatan, dapat dirampas.
Dari rumusan KUHP pasal 39 ayat (1) a quo, dapat dirumuskan syarat keempat untuk melakukan perampasan terhadap harta hak milik pribadi warganegara adalah “Harus terbuktinya hubungan sebab akibat (causa verband) antara keslahan si pemilik harta dengan harta hak miliknya yang dituntut agar dirampas.”
Artinya, norma pidana yang menetapkan adanya hukuman tambahan berupa perampasan harta hak milik harus dirumuskan secara tegas (rigid dan limitatif) dan tertutup yang memuat syarat adanay hubungan sebab akibat (causa verband) antara tindak pidan yang dilakukan pemilik harta dengan harta hak miliknya yang dirampas untuk negara.
Causa verband itu fungsinya menjelaskan:
∙ Hubungan hukum antara pelaku tindak pidana dengan harta yang akan dirampas. Causa verband ini bersifat mutlak agar terpenuhi syarat hanya harta pelaku tindak pidana yang boleh dirampas untuk negara. Sebab, tidak boleh terjadi perampasan atas harta hak milik pelaku tindak pidana yang tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya.
∙ Hubungan harta pelaku tindak pidana dengan harta hak miliknya yang akan dirampas untuk negara.
Dari ketentuan KUHP pasal 39 ayat (1) a quo didapat syarat keempat dan kelima untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi, yaitu:
“Barang yang dirampas adalah hak milik si terhukum”
“Harta hak milik si pelaku tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya”.
Dari uaraian di atas, dapat disimpulkan ada lima syarat untuk melakukan perampasan atas harta hak milik pribadi warganegara yaitu:
Perampasan atas harta hak milik harus didasarkan pada ketentuan undang-undang yang pasti
Perampasan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
Hanya harta hak milik si pelaku tindak pidana yang boleh dirampas.
Perampasan merupakan tindak pidana tambahan dari pidan pokok yang telah dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Harus dibuktikan adanya causa verband antara harta yang dirampas dengan tindak pidan yang dilakukan pemiliknya.
Secara faktual, tidak satupun dari lima syarat a quo yang dipenuhi oleh Pembanatah, oleh karen itu, ipso jure, tidak ada alasan hukum yang membenarkan agar rekuisitur Terbantah dikabulkan. Oleh karena itu, tuntutan Terbantah agar satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK hak milik Pembantah dirampas untuk negara haruslah ditolak seluruhnya.
Bahwa, rekuisitur Terbantah dalam perkara pidan No.116/Pid.B/2005/PN.SGT a quo semata-mata didasarkan padaq ketentuan pidana dalam UU Kehutanan No.41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15).
Padahal, ketentuan pidana dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo tidak dapat dijadikan pedoman karena cacat hukum, sebab ketentuan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo bersifat kategoris, tidak bersifat hipotesis. Karena nrma a quo dirumuskan secara kategoris, maka norma yang muncul adalah norma tunggal yang bersifat luas, fleksibel, vague (kabur) serta memberikan beberapa peluang penafsiran (multitafsir) serta tidak mensyaratkan adanya dwingen verband antar kondisi dengan konsekuensi seperti yang diisyaratkan oleh Logemann sebagai dasar kebelakuan suatu norma hukum. Dengan demikian, norma a quo tidak dapat diberlakukan sebagai hukum pidana.
Karan tidak adanya dwingen verband antara kondisi dengan konsekuensi seperti yang disyaratkan oleh Logemann; maka proses penegakannya membawa konsekuensi implikasi hukum sangat jauh serta tidak terukur. Akibatnya, norma aquo tidak memberikan kepastan hukum yang limitatif sebagaimana yang dituntut UUD 1945 pasal 28 D ayat (1).
Selain itu, norma UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo bersifat multi tafsir dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo berbunyi:
“Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam hal ini dirampas untuk negara.”
Secara anatomis, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran. Dari unsur ini, secara nyata dapat diketahui adanya ambiguitas yang menghilangkan norma kepastian hukum. Menurut ilmu hukum pidan kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding) tidak dapat ditunggalkan secara bersama-sama, menjadi satu unsur atau sebagai satu unsur tindak pidana (delict). Sebab kejahatan memiliki kualifikasi tersendiri, demikian pula pelanggaran memiliki kualifikasi tersendiri. Sesuatu feit (perbuatan) yang merupakan pelanggaran (overtreding), pastilah bukan merupakan kejahatan (misdrijf).
Seharusnya unsur ini berbunyi: “semua hasil hutan dari hasil kejahatan atau pelanggaran”.
“dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”.
rumusan unsur inipun mengandung kata “dan atau” sebagai penghubung dua unsur feit sehingga membuka beberapa penafsiran/iterpretasi berikut:
dari rumusan kata “dan atau” sebagai penghubung dua unsur feit akan muncul penafsiran pertama “hasil hutan dan alat-alat termasuk alat angkutnya”harus dirampas untuk negara.
dari rumusan kata “dan atau” sebagai penghubung dua unsur feit akan muncul penafsiran kedua, hasil hutan saja yang dirampas untuk negara, sedangkan alat-alat termasuk alat angkutnya tidak dirampas untuk negara.
Dari rumusannkata “dan atau” muncul penafsiran ketiga, alat-alat termasuk alat angkutnya yang dirampas untuk negara, hasil hutan tidak dirampas untuk negara.
dari rumusan kata “dan atau” muncul penafsiran keempat, karena diikuti kata “termasuk” maka muncul penafsiran keempat yaitu, “alat angkutnya saja yang dirampas untuk negara, hasil hutan atau lat-alat lainnya tidak dirampas untuk negara.”
Demikian halnya untuk rumusan kata “dan atau” yang kedua yang menghubungkan feit kejahatan (misdrijf) dengan pelanggaran (overtreding; juga akan menimbulkan (paling tidak) tiga tafsiran:
Dari rumusan kata “dan atau” yang menghubungkan feit kejahatan (misdrijf) dengan pelanggaran (overtreding); akan muncul penafsiran pertama alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan (misdrijf) dana pelanggaran (overtreding) dirampas untuk negara”
Dari rumusan kata “dan atau” yang menghubungkan feit kejahatan (misdrijf) dengan pelanggaran (overtreding); akan muncul penafsiran kedua alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan(misdrijf) saja dirampas untuk negara”.
Dari rumusan kata “dan atau” yang menghubungkan feit kejahatan (misdrijf) dengan pelanggaran (overtreding); akan muncul penafsiran ketiga alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan pelanggaran (overtreding) saja dirampas untuk negara”.
Menurut doktrin hukum pidana kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding) tidak mungkin secara bersama-sama menjadi satu sebagai satu unsur tindak pidana (delict). Sebab kejahatan memliki kualifikasi tersendiri, demikian pula pelanggaran memeliki kualifikasi tersendiri. Sesuatu feit (perbuatan) yang merupakan pelanggaran (overtreding), pastilah bukan merupakan kejahatan (misdrijf). Menurut Jan Remmelink, adnaya pembedaan kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding) didasarkan pada adanya perbedaan prinsip dan kualitan antara keduanya (Jan Remmelink, 2003: 66-67).
Agar rumusan norma UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo tidak ambigu, vague (kabur), serta fleksibel yang menyebabkan bersifat multitafsirsehingga tidak mengandung norma kepastian hukum vide UUD 1945 pasal 28D ayat (1); sehausnya tidak memuat kata “dan atau”.
Selain bersifat multi tafsir, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo bersifat terbuka; hal ini menjadi jelas bila kita menelaah secara komprehensif rumusan unsur kedua yang berbunyi:
“dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara”.
Bersifat terbuka, artinya tidak menunjuk kepada subyek pelaku tindak pidana (dader) tertentu. Akibatnya, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo tidak memperhatikan siapa subyek pemilik alat-alat pemilik alat angkut.
Tidak pula mensyaratkan apakah harus ada causa verband (causalitet verband) atau dwingenverband antara kesalahan dader dengan perampasan harta hak milik.
Dengan demikian, ketentuan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo bersifat invalid sehingganya tidak dapat dijadikan landasan pemidanaan.
Oleh karena itu, rekuisitur Terbantah yang didasarkan pada ketentuan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 78 ayat (15) a quo haruslah ditolak seluruh atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet van vankelijke verklaard).
Bahwa, dalam due process of law, sangat mungkin putusan dalam perkara pidana No.116/Pid.B/2005/PN.SGT memiliki kekuatan tetap berlebih dahulu dari putusan pengadilan dalam perkara perdata bantahan ini. Konsekuensi yuridisnya, Jaksa akan memiliki wewenang mengeksekusi barang bukti atau kemudian menjadi brang rampasan berupa satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK hak milik Pembantah.
Padahal, secara yuridis, Pembantah sangat berkepentingan terhadap satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK hak miliknya a quo samapai adanaya putusan berkekuatan tetap dalam perkara Bantahan ini.
Oleh karena itu, adalah sesuai hukum bila Pengadilan memutuskan dalam putusan provisional bahwa eksekusi satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK hak milik Pembantah a quo haruslah ditunda sampai putusan perkara perdata Bantahn ini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Bahwa, agar satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK a quo tidak mengalami kerusakan yang menyebabkan kerugian lebih lanjut pada Pembantah, maka ipso jure, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menetapkan perawatan dan pemeliharaan atas satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK diserahkan kepada Pembantah sampai putusan perkra perdata Bantahn ini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde.
Bertolak dari seluruh argumentasi hukum di atas, maka selayaknya Pmebantah memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sengeti yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenaan memutuskan perkara perdata Bantahan ini dengan amar putusan sebagai berikut:
Dalam Provisonal
Mengabulkan permohonan Pembantah untuk seluruhnya.
Memerintahkan Terbantah menunda eksekusi satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK sampai putusan perkara perdata bantahan ini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Menetapkan menetapkan perawatan dan pemeliharaan atas satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK tetap menjadi hak Pembantah sampai putusan perkra perdata Bantahn ini memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde.
Dalam Pokok Perkara
Menyatakan Pembantah adalah Pembantah yang benar dan beritikad baik.
Menyatakan Pembantah adalah pemilik sah satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK
Menyatakan Rekuisitur Terbantah dalam perkara pidana No.116/Pid.B/2005/PN.SGT yang menuntut agar satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK dirampas untuk negara sebagai tidak berdasarkan Undang-undang, hukum serta keadilan.
Menolak rekuisitur Terbantah dalam perkara pidana No.116/Pid.B/2005/PN.SGT yang menuntut agar satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK dirampas untuk negara atau setidak-tidaknya menyatakan dalam perkara pidana No.116/Pid.B/2005/PN.SGT yang menuntut agar satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK dirampas untuk negara tidak dapat diterima (niet van vankelijke verklaard).
Menghukum Terbantah menyerahkan kepada Pembantah secara sekaligus dan seketika serta dalam keadaan baik satu unit mobil Toyota Dyna Light Truck; warna merah; Nomor Polisi BG 4355 MK.
Menghukum Terbantah membayar seluruh biaya yang timbul dari perkara ini.
Dalam hal Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarka ketentuan undang-undang, hukum, moralitas, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat (ex aequo et bono).
Hormat Pembantah
Kuasa Hukum
XXXXXXXXXXX
XXXXXXXXXXX
Komentar
Posting Komentar